Tafsir Surat Al-Fath

Kemenangan

Ayat ke 1

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud dari kata "kemenangan" (fath) dalam ayat ini. Sebagian mereka berpendapat penaklukan Mekah. Ada yang berpendapat, penaklukan negeri-negeri yang waktu itu berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi, dan ada pula yang berpendapat, Perdamaian Hudaibiyyah. Kebanyakan ahli tafsir mengikuti pendapat terakhir ini. Di antaranya ialah:

1.Menurut pendapat Ibnu 'Abbas, kemenangan dalam ayat ini adalah Perdamaian Hudaibiyyah karena perdamaian itu menjadi sebab terjadinya penaklukan Mekah.

2.Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa ia berkata, "Kalian berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini ialah penaklukan Mekah, sedangkan kami berpendapat Perdamaian Hudaibiyyah. Pada riwayat yang lain diterangkan bahwa Surah al-Fath ini diturunkan pada suatu tempat yang terletak antara Mekah dan Medinah, setelah terjadi Perdamaian Hudaibiyyah, mulai dari permulaan sampai akhir surah.

3.Az-Zuhri mengatakan, "Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan yang ditimbulkan oleh Perdamaian Hudaibiyyah dalam sejarah penyebaran agama Islam pada masa Rasulullah. Sejak terjadinya perdamaian itu, terjadilah hubungan yang langsung antara orang-orang Muslim dan orang-orang musyrik Mekah. Orang Muslim dapat menginjak kembali kampung halaman dan bertemu dengan keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Dalam hubungan dan pergaulan yang demikian itu, orang-orang kafir telah mendengar secara langsung percakapan kaum Muslimin, baik yang dilakukan sesama kaum Muslimin, maupun yang dilakukan dengan orang kafir sehingga dalam masa tiga tahun, banyak di antara mereka yang masuk Islam. Demikianlah proses itu berlangsung sampai saat penaklukan Mekah, kaum Muslimin dapat memasuki kota itu tanpa pertumpahan darah.

Hudaibiyyah adalah nama sebuah desa, kira-kira 30 km di sebelah barat kota Mekah. Nama itu berasal dari nama sebuah perigi yang ada di desa tersebut. Nama desa itu kemudian dijadikan sebagai nama suatu perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir Mekah, yang terjadi pada bulan Zulkaidah tahun 6 H (Februari 628 M) di desa itu.

Pada tahun keenam Hijriah, Nabi Muhammad beserta kaum Muslimin yang berjumlah hampir 1.500 orang memutuskan untuk berangkat ke Mekah untuk melepaskan rasa rindu mereka kepada Baitullah kiblat mereka, dengan melakukan umrah dan untuk melepaskan rasa rindu kepada sanak keluarga yang telah lama mereka tinggalkan. Untuk menghilangkan prasangka yang tidak benar dari orang kafir Mekah, maka kaum Muslimin mengenakan pakaian ihram, membawa hewan-hewan untuk disembelih yang akan disedekahkan kepada penduduk Mekah. Mereka pun berangkat tidak membawa senjata, kecuali sekedar senjata yang biasa dibawa orang dalam perjalanan jauh.

Sesampainya di Hudaibiyyah, rombongan besar kaum Muslimin itu bertemu dengan Basyar bin Sufyan al-Ka'bi. Basyar mengatakan kepada Rasulullah bahwa orang-orang Quraisy telah mengetahui kedatangan beliau dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, mereka telah mempersiapkan bala tentara dan senjata untuk menyambut kedatangan kaum Muslimin. Mereka sedang berkumpul di dzi thuwa. Rasulullah saw lalu mengutus 'Utsman bin 'Affan menemui pimpinan dan pembesar Quraisy untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau beserta kaum Muslimin. Maka berangkatlah 'Utsman.

Kaum Muslimin menunggu-nunggu kepulangan 'Utsman, tetapi ia tidak juga kunjung kembali. Hal itu terjadi karena 'Utsman ditahan oleh pembesar-pembesar Quraisy. Kemudian tersiar berita di kalangan kaum Muslimin bahwa 'Utsman telah mati dibunuh oleh para pembesar Quraisy. Mendengar berita itu, banyak kaum Muslimin yang telah hilang kesabarannya. Rasulullah bersumpah akan memerangi kaum kafir Quraisy. Menyaksikan hal itu, kaum Muslimin membaiat beliau bahwa mereka akan berperang bersama Nabi melawan kaum kafir. Hanya satu orang yang tidak membaiat, yaitu Jadd bin Qais al-Ansari. Baiat para sahabat itu diridai Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat 18 surah ini. Oleh karena itu, baiat itu disebut Bai'atur-Ridhwan yang berarti "baiat yang diridai".

Bai'atur-Ridhwan ini menggetarkan hati orang-orang musyrik Mekah karena takut kaum Muslimin akan menuntut balas bagi kematian 'Utsman, sebagaimana yang mereka duga. Oleh karena itu, mereka mengirimkan utusan yang menyatakan bahwa berita tentang pembunuhan 'Utsman itu tidak benar dan mereka datang untuk berunding dengan Rasulullah saw. Perundingan itu menghasilkan perdamaian yang disebut Perjanjian Hudaibiyyah (Sulhul-Hudaibiyyah).

Isi perdamaian itu ialah:

1. Menghentikan peperangan selama 10 tahun.

2. Setiap orang Quraisy yang datang kepada Rasulullah saw tanpa seizin wali yang mengurusnya, harus dikembalikan, tetapi setiap orang Islam yang datang kepada orang Quraisy, tidak dikembalikan kepada walinya.

3. Kabilah-kabilah Arab boleh memilih antara mengadakan perjanjian dengan kaum Muslimin atau dengan orang musyrik Mekah. Sehubungan dengan ini, maka kabilah Khuza'ah memilih kaum Muslimin, sedangkan golongan Bani Bakr memilih kaum musyrik Mekah.

4. Nabi Muhammad dan rombongan tidak boleh masuk Mekah pada tahun perjanjian itu dibuat, tetapi baru dibolehkan pada tahun berikutnya dalam masa tiga hari. Selama tiga hari itu, orang-orang Quraisy akan mengosongkan kota Mekah. Nabi Muhammad dan kaum Muslimin tidak boleh membawa senjata lengkap memasuki kota Mekah.

Setelah perjanjian itu, Rasulullah saw beserta kaum Muslimin kembali ke Medinah. Perjanjian perdamaian itu ditentang oleh sebagian sahabat karena mereka menganggap perjanjian itu merugikan kaum Muslimin dan lebih menguntungkan orang-orang musyrik Mekah. Apabila dilihat sepintas lalu, memang benar anggapan sebagian para sahabat itu, seperti yang tersebut pada butir dua dan butir empat. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa setiap orang musyrik yang datang kepada nabi tanpa seizin walinya harus dikembalikan, sebaliknya kalau orang Muslimin datang kepada orang Quraisy tidak dikembalikan. Di samping itu, kaum Muslimin dilarang masuk kota Mekah pada tahun itu. Sekalipun dibolehkan pada tahun berikutnya, namun hanya dalam waktu tiga hari, sedang kota Mekah adalah kampung halaman mereka sendiri. Pada waktu itu, kaum Muslimin merasa telah mempunyai kekuatan yang cukup untuk memerangi dan mengalahkan orang-orang musyrik, mengapa tidak langsung saja memerangi mereka?

Lain halnya dengan Rasulullah saw dan para sahabat yang lain, yang memandangnya dari segi politik dan mempunyai pandangan yang jauh ke depan. Sesuai dengan ilham dari Allah, beliau yakin bahwa perjanjian itu akan merupakan titik pangkal kemenangan yang akan diperoleh kaum Muslimin pada masa-masa yang akan datang. Sekalipun butir dua dan empat dari perjanjian itu seakan-akan merugikan kaum Muslimin, beliau yakin bahwa tidak akan ada kaum Muslimin yang menjadi kafir kembali, karena mereka telah banyak mendapat ujian dari Tuhan mereka. Keyakinan beliau itu tergambar dalam sikap beliau setelah terjadinya perjanjian itu.

Jika dipelajari, maka apa yang diyakini oleh Rasulullah saw dapat dipahami, di antaranya ialah:

1. Dengan adanya Perjanjian Hudaibiyyah, berarti orang-orang musyrik Mekah secara tidak langsung telah mengaku secara de facto pemerintahan kaum Muslimin di Medinah. Selama ini, mereka menyatakan bahwa Nabi dan kaum Muslimin tidak lebih dari sekelompok pemberontak yang ingin memaksakan kehendaknya kepada mereka.

2. Dengan dibolehkannya Rasulullah saw bersama kaum Muslimin memasuki kota Mekah pada tahun yang akan datang untuk melaksanakan ibadah di sekitar Ka'bah, terkandung pengertian bahwa orang-orang musyrik Mekah telah mengakui agama Islam sebagai agama yang berhak menggunakan Ka'bah sebagai rumah ibadah mereka dan hal ini juga berarti bahwa mereka telah mengakui agama Islam sebagai salah satu dari agama-agama yang ada di dunia.

3. Dengan terjadinya perjanjian itu, berarti kaum muslimin telah memperoleh jaminan keamanan dari orang-orang musyrik Mekah. Hal ini memungkinkan mereka menyusun dan membina masyarakat Islam dan melakukan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru tanah Arab, tanpa mendapat gangguan dari orang-orang musyrik Mekah. Selama ini, setiap usaha Rasulullah saw selalu mendapat rintangan dan gangguan dari mereka. Sejak itu pula, Rasulullah dapat mengirim surat untuk mengajak raja-raja yang berada di kawasan Jazirah Arab dan sekitarnya untuk masuk Islam, seperti Kisra Persia, Muqauqis dari Mesir, Heraklius kaisar Romawi, raja Gassan, pembesar-pembesar Yaman, raja Najasyi (Negus) dari Ethiopia dan sebagainya.

Pada tahun kedelapan Hijriah, orang Quraisy menyerang Bani Khuza'ah, sekutu kaum Muslimin. Dalam Perjanjian Hudaibiyyah disebutkan bahwa penyerangan kepada salah satu dari sekutu kaum Muslimin berarti penyerangan kepada kaum Muslimin. Hal ini berarti bahwa pihak yang menyerang telah melanggar secara sepihak perjanjian yang telah dibuat. Oleh karena itu, pada tahun kedelapan Hijriah tanggal 10 Ramadan, berangkatlah Rasulullah bersama 10.000 kaum Muslimin menuju Mekah. Setelah mendengar kedatangan kaum Muslimin dalam jumlah yang demikian besar, maka orang-orang Quraisy menjadi gentar dan takut, sehingga Abu Sufyan, pemimpin Quraisy waktu itu, segera menemui Rasulullah di luar kota Mekah. Ia menyatakan kepada Rasulullah saw bahwa ia dan seluruh kaumnya menyerahkan diri kepada beliau dan ia sendiri menyatakan masuk Islam saat itu juga. Dengan pernyataan Abu Sufyan itu, maka Rasulullah saw bersama kaum Muslimin memasuki kota Mekah dengan suasana aman, damai, dan tenteram, tanpa pertumpahan darah. Dengan demikian, sempurnalah kemenangan Rasulullah saw dan kaum Muslimin, yang terjadi dua tahun setelah Perjanjian Hudaibiyyah. Sejak itu pula, agama Islam tersebar dengan mudah ke segala penjuru Jazirah Arab. Sejak itu pula, pemerintahan Islam mulai melebarkan sayapnya ke daerah-daerah yang dikuasai oleh negara-negara besar pada waktu itu, seperti daerah-daerah kerajaan Romawi dan kerajaan Persia.

Ayat ke 2

Ayat ini menerangkan bahwa dengan terjadinya Perjanjian Hudaibiyyah, berarti Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya yang tiada terhingga kepada Rasulullah saw. Nikmat-nikmat itu ialah:

1. Mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw yang dilakukan sebelum dan sesudah terjadi Perjanjian Hudaibiyyah. Tentu saja yang dimaksud dosa dalam ayat ini ialah yang tidak mengurangi atau merusak fungsi kenabiannya karena Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terpelihara dari perbuatan dosa besar.

2. Tersebarnya agama Islam ke seluruh Jazirah Arab, bahkan ke beberapa daerah kerajaan Romawi. Hal itu menjadikan Rasulullah saw sebagai orang yang bertanggung jawab mengurus persoalan agama dan juga sebagai kepala negara. Dalam sejarah, jarang terjadi hal yang demikian. Di antara nabi dan rasul yang merangkap sebagai kepala negara, hanya Nabi Daud dan putra beliau, Nabi Sulaiman.

3. Membimbing Rasulullah saw ke jalan yang lurus dan diridai-Nya.

4. Menolong Rasulullah dari gangguan dan serangan musuh sehingga tidak satu pun yang dapat menyerang dan membunuhnya.

Menurut Mujahid, Sufyan ats-sauri, Ibnu Jarir, al-Wahidi, dan beberapa ulama lain, yang dimaksud dengan memberi pengampunan dalam ayat ini ialah mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw sebelum dan sesudah beliau diangkat menjadi rasul.

Az-Zamakhsyari, dalam tafsir al-Kasysyaf, mengatakan, "Allah menjadikan penaklukan kota Mekah itu sebagai sebab bagi pengampunan dosa Muhammad, karena Allah menjadikannya sebagai penyebab Rasulullah mendapat empat hal, yaitu: pengampunan dosa, penyempurnaan nikmat, petunjuk ke jalan yang lurus, dan kemenangan yang gemilang."

Ayat ke 3

Ayat ini menerangkan bahwa dengan terjadinya Perjanjian Hudaibiyyah, berarti Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya yang tiada terhingga kepada Rasulullah saw. Nikmat-nikmat itu ialah:

1. Mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw yang dilakukan sebelum dan sesudah terjadi Perjanjian Hudaibiyyah. Tentu saja yang dimaksud dosa dalam ayat ini ialah yang tidak mengurangi atau merusak fungsi kenabiannya karena Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terpelihara dari perbuatan dosa besar.

2. Tersebarnya agama Islam ke seluruh Jazirah Arab, bahkan ke beberapa daerah kerajaan Romawi. Hal itu menjadikan Rasulullah saw sebagai orang yang bertanggung jawab mengurus persoalan agama dan juga sebagai kepala negara. Dalam sejarah, jarang terjadi hal yang demikian. Di antara nabi dan rasul yang merangkap sebagai kepala negara, hanya Nabi Daud dan putra beliau, Nabi Sulaiman.

3. Membimbing Rasulullah saw ke jalan yang lurus dan diridai-Nya.

4. Menolong Rasulullah dari gangguan dan serangan musuh sehingga tidak satu pun yang dapat menyerang dan membunuhnya.

Menurut Mujahid, Sufyan ats-sauri, Ibnu Jarir, al-Wahidi, dan beberapa ulama lain, yang dimaksud dengan memberi pengampunan dalam ayat ini ialah mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw sebelum dan sesudah beliau diangkat menjadi rasul.

Az-Zamakhsyari, dalam tafsir al-Kasysyaf, mengatakan, "Allah menjadikan penaklukan kota Mekah itu sebagai sebab bagi pengampunan dosa Muhammad, karena Allah menjadikannya sebagai penyebab Rasulullah mendapat empat hal, yaitu: pengampunan dosa, penyempurnaan nikmat, petunjuk ke jalan yang lurus, dan kemenangan yang gemilang."

Ayat ke 4

Allah menganugerahkan nikmat-Nya dengan menanamkan ketenangan dalam hati orang-orang yang beriman, terutama dalam hati para sahabat yang ikut bersama Rasulullah saw dalam Perjanjian Hudaibiyyah. Dengan ketenangan hati itu, para sahabat patuh kepada hukum Allah dan keputusan Rasul-Nya. Dengan ketenangan hati itu juga, Allah menambah iman para sahabat.

Imam al-Bukhari menetapkan kesimpulan berdasarkan ayat ini bahwa iman itu tidak sama kadarnya dalam setiap hati orang beriman, ada yang tebal, ada yang sedang, dan ada pula yang tipis. Di samping itu, iman dapat pula bertambah dan berkurang pada diri seseorang.

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan menurunkan ketenangan dalam hati orang-orang yang beriman ialah menghilangkan perbedaan pendapat yang terjadi di antara para sahabat Rasulullah saw tentang Perjanjian Hudaibiyyah. Dengan timbulnya ketenangan hati, semua sahabat Nabi akhirnya mengikuti keputusan Rasulullah. Diriwayatkan bahwa 'Umar bin al-Khaththab termasuk di antara sahabat yang tidak menyetujui Perjanjian Hudaibiyyah sehingga beliau berkata, "Bukankah kita pada jalan yang hak, sedangkan mereka di jalan yang batil?" Dengan rahmat Allah, perbedaan pendapat itu hilang. Para sahabat menyadari kebenaran pendapat Rasulullah saw, termasuk 'Umar bin al-Khaththab yang akhirnya menyetujui pendapat Rasulullah.

Ayat ini dapat berarti umum dan dapat pula berarti khusus. Dalam arti umum, ayat ini berarti bahwa Allah akan menanamkan ketenangan hati, kesabaran, dan ketabahan bagi setiap orang yang beriman sehingga tidak ada lagi perbedaan pendapat di antara mereka yang dapat menimbulkan perpecahan. Hanya orang-orang yang kurang imannya saja yang mudah berselisih dengan orang yang beriman lainnya. Sedangkan arti khususnya adalah bahwa Allah menimbulkan ketenangan hati pada setiap orang yang bersama Rasulullah saw dalam menghadapi Perjanjian Hudaibiyyah. Arti khusus inilah yang dimaksud dalam ayat ini karena ini yang sesuai dengan sebab turunnya.

Allah menerangkan bahwa Dialah yang mengatur dan menguasai langit dan bumi. Dia mempunyai "tentara langit" dan "tentara bumi", yang dapat melaksanakan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Tidak ada satu pun dari tentara-Nya yang mengingkari perintah-Nya. Di antara "tentara-tentara" itu ada yang berupa malaikat, binatang, angin topan, gempa yang dahsyat, banjir, aneka rupa penyakit, dan sebagainya. Jika Allah menghendaki, Dia dapat menghancurkan segala sesuatu dengan satu macam tentara-Nya saja termasuk menghancurkan setan. Tetapi Dia tidak berbuat demikian, bahkan Dia memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berjihad dan berperang di jalan-Nya. Semuanya itu ditetapkan sesuai dengan hikmah, tujuan, dan kemaslahatan yang diketahui-Nya, sedangkan manusia boleh jadi tidak mengetahuinya.

Ayat ke 5

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari bahwa Anas bin Malik bertanya kepada Rasulullah saw mengenai turunnya ayat 1 sampai dengan ayat 3 surah ini, dalam perjalanan pulang ke Medinah, setelah Perjanjian Hudaibiyyah. Rasulullah saw berkata, "Sesungguhnya telah turun kepadaku ayat yang lebih aku suka daripada apa yang ada di permukaan bumi ini." Kemudian beliau membacanya. Para sahabat berkata, "Alangkah baiknya ya Rasulullah, sesungguhnya telah diterangkan apa yang akan dianugerahkan kepada engkau, tetapi apakah yang akan dianugerahkan Allah kepada kami?" Maka turunlah ayat ini, yang menerangkan anugerah yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman.

Kaum Muslimin yang membaiat Nabi Muhammad dan menerima Perjanjian Hudaibiyyah memperoleh tambahan nikmat dari Allah yang lebih besar lagi dengan menghapus dosa kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dan menyediakan tempat yang penuh kebahagiaan bagi mereka di surga. Hal itu merupakan kemenangan yang besar bagi mereka.

Ayat ke 6

Baiat kaum Muslimin kepada Nabi, dan penerimaan Perjanjian Hudaibiyyah, dijadikan Allah sebagai alasan untuk:

1.Mengazab orang-orang munafik dan orang-orang musyrik, baik laki-laki maupun perempuan, berupa kekalahan di dunia di samping timbulnya kebingungan, ketakutan, dan kesedihan pada diri mereka karena melihat kemenangan kaum Muslimin atas mereka, ditawannya sebagian mereka oleh orang-orang yang beriman, terbunuhnya sebagian keluarga mereka dalam peperangan, dan sebagainya. Semula mereka menyangka pasti akan menang dan mengalahkan kaum Muslimin, bahkan sanggup membunuh semuanya. Mereka pada waktu itu yakin bahwa keadaan mereka lebih baik daripada keadaan kaum Muslimin. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya dan segala macam penyesalan mereka itu tidak ada gunanya.

2.Memurkai mereka sehingga kehidupan mereka celaka di dunia dan di akhirat.

3.Melaknat mereka sehingga mereka tersiksa hidup di dunia.

4.Memasukkan mereka ke dalam neraka Jahanam.

Dalam ayat ini, "orang-orang munafik" disebut lebih dahulu daripada "orang-orang musyrik". Hikmahnya ialah untuk menekankan bahwa orang-orang munafik lebih banyak menimbulkan kerugian bagi orang-orang yang beriman, dibandingkan dengan orang-orang musyrik. Orang munafik merupakan musuh yang tidak tampak dan sukar dihadapi, sedangkan orang-orang musyrik adalah musuh yang tampak dengan jelas sehingga mudah menghadapinya. Sehubungan dengan sikap orang-orang munafik ini, Allah berfirman:

Bahkan (semula) kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin sekali-kali tidak akan kembali lagi kepada keluarga mereka selama-lamanya dan dijadikan terasa indah yang demikian itu di dalam hatimu, dan kamu telah berprasangka dengan prasangka yang buruk, karena itu kamu menjadi kaum yang binasa. (al-Fath/48: 12)

Di samping bencana, orang-orang munafik dan orang-orang musyrik juga akan menerima kemurkaan Allah, dijauhkan dari rahmat-Nya, dan disediakan neraka Jahanam yang membakar hangus mereka di akhirat nanti. Neraka Jahanam itu adalah tempat paling buruk yang disediakan bagi mereka.

Ayat ke 7

Diriwayatkan bahwa setelah Perjanjian Hudaibiyyah, Ibnu Ubay berkata, "Apakah Muhammad mengira bahwa setelah terjadi perdamaian Hudaibiyyah, ia tidak mempunyai musuh lagi? Bukankah masih ada kerajaan Persia dan Romawi?" Maka turunlah ayat ini yang menerangkan bahwa Allah mempunyai tentara langit dan bumi, yang dapat mengalahkan tentara atau kekuatan apa pun jika Dia menghendakinya.

Orang-orang munafik dan orang-orang musyrik tidak akan dapat menantang kekuasaan dan kehendak Allah karena Dia mempunyai tentara yang kuat di langit dan di bumi, yang terdiri dari malaikat, jin, manusia, petir yang dahsyat, angin kencang, banjir, gempa yang dahsyat, dan sebagainya. Semuanya itu dapat dikerahkan Allah kapan saja Dia kehendaki untuk menghancurkan orang-orang yang ingkar kepada-Nya.

Dalam ayat 4 telah diterangkan pula bahwa Allah mempunyai tentara di langit dan di bumi. Dalam ayat ini diulang lagi perkataan tersebut. Fungsinya ialah untuk menjelaskan bahwa Allah mempunyai tentara untuk menyampaikan rahmat dan menurunkan azab-Nya. Ayat 4 menerangkan tentara yang menyampaikan nikmat, sedangkan ayat ini menerangkan tentara yang menurunkan azab.

Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah Mahaperkasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan dan menandingi-Nya. Dia Mahabijaksana melakukan segala macam tindakan sesuai dengan faedah dan manfaatnya.

Ayat ke 8

Allah menyatakan bahwa sesungguhnya Dia mengutus Muhammad sebagai saksi atas umatnya mengenai kebenaran Islam dan keberhasilan dakwah yang beliau kerjakan. Nabi bertugas menyampaikan agama Allah kepada semua manusia, serta menyampaikan kabar gembira kepada orang- orang yang mau mengikuti agama yang disampaikannya. Mereka yang mengikuti ajakan Rasul akan diberi pahala yang berlipat ganda berupa surga di akhirat. Nabi juga bertugas memberikan peringatan kepada orang-orang yang mengingkari seruannya untuk mengikuti agama Allah bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam neraka sebagai akibat dari keingkaran itu.

Ayat ke 9

Allah melakukan yang demikian agar manusia beriman kepada-Nya dan kepada Muhammad saw, sebagai rasul yang diutus-Nya; membela dan menegakkan agama-Nya dengan menyampaikan kepada manusia yang lain; mengagungkan-Nya dengan membesarkan nama-Nya; dan bertasbih dengan memuji dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya pada setiap pagi dan petang.

Ayat ke 10

Ayat ini menerangkan pernyataan Allah terhadap baiat yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah saw bahwa hal itu juga berarti mengadakan baiat kepada Allah. Baiat ialah suatu janji setia atau ikrar yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang berisi pengakuan untuk menaati seseorang misalnya karena ia diangkat menjadi pemimpin atau khalifah.

Yang dimaksud dengan baiat dalam ayat ini ialah Bai'atur Ridhwan yang terjadi di Hudaibiyyah yang dilakukan para sahabat di bawah pohon Samurah. Para sahabat waktu itu berjanji kepada Rasulullah saw bahwa mereka tidak akan lari dari medan pertempuran serta akan bertempur sampai titik darah penghabisan memerangi orang-orang musyrik Mekah, seandainya kabar yang disampaikan kepada mereka bahwa 'Utsman bin 'Affan yang diutus Rasulullah itu benar telah mati dibunuh orang musyrik Mekah.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Qatadah bahwa ia berkata kepada Sa'id bin al-Musayyab, "Berapa jumlah orang yang ikut Bai'ah ar-Ridhwan?" Sa'id menjawab, "Seribu lima ratus orang." Ada pula yang berpendapat jumlahnya seribu empat ratus orang.

Dalam ayat ini, diterangkan cara baiat yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah saw yaitu dengan meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang-orang yang berjanji. Dalam posisi demikian, diucapkanlah kata baiat.

Maksud kalimat "tangan Allah di atas tangan mereka" ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah saw sama hukumnya dengan berjanji kepada Allah. Tangan Allah dalam konteks ayat ini merupakan arti kiasan, karena Allah Mahasuci dari segala sifat yang menyerupai makhluk-Nya. Oleh karena itu, ada ahli tafsir yang mengartikan tangan di sini dengan kekuasaan.

Kemudian diterangkan akibat yang akan dialami orang-orang yang mengingkari perjanjian itu, yaitu mereka akan memikul dosa yang besar. Dosa besar itu diberlakukan terhadap mereka karena tidak mau membaiat Nabi saw, sedangkan kaum Muslimin membaiat beliau secara pribadi. Sebaliknya diterangkan pula pahala yang akan diperoleh orang-orang yang menepati baiatnya. Mereka akan memperoleh pahala yang berlipat ganda di akhirat dan tempat mereka adalah surga yang penuh dengan kenikmatan.

Ayat ke 11

Allah menjelaskan kepada Rasulullah saw bahwa beberapa kabilah Arab penduduk padang pasir yang tidak turut pergi ke Mekah untuk mengerjakan umrah akan berkata kepada beliau, "Kami tidak ikut bersama engkau ke Mekah mengerjakan umrah karena kami sedang sibuk mengurus pekerjaan, harta, dan keluarga kami. Sedangkan kami tidak mempunyai pembantu yang akan membantu kami mengurus semuanya itu sepeninggal kami pergi beserta engkau. Oleh karena itu, mohonkanlah ampunan untuk kami kepada Tuhan engkau, dengan alasan kesibukan kami itu."

Sewaktu Rasulullah saw memutuskan akan pergi untuk mengerjakan umrah ke Mekah pada tahun keenam Hijrah, beliau mengajak kaum Muslimin ikut bersama-sama beliau. Semakin banyak yang ikut bersama beliau, semakin besar pula artinya karena dengan jumlah kaum Muslimin yang banyak itu akan menimbulkan rasa gentar dalam hati orang-orang musyrik Mekah sehingga mereka menerima kaum Muslimin masuk ke Mekah, dan umrah dapat dilaksanakan dalam suasana yang aman. Di antara kaum Muslimin yang diajak terdapat kabilah-kabilah Arab yang tinggal di padang pasir sekitar kota Medinah, seperti kabilah-kabilah Juhainah, Muzainah, Gifar, Asyja', ad-Dil, dan Aslam. Rasulullah saw menyatakan kepada mereka bahwa tujuan ke Mekah itu semata-mata untuk mengerjakan ibadah umrah dan untuk melihat keluarga yang telah lama ditinggalkan. Oleh karena itu, kepergian ke Mekah tidak dengan senjata lengkap sebagaimana untuk pergi perang, kecuali membawa senjata-senjata yang biasa dibawa oleh para musafir. Di samping itu, dibawa juga binatang-binatang ternak untuk makanan dalam perjalanan dan untuk dihadiahkan kepada penduduk Mekah. Sekalipun demikian, ajakan Rasulullah itu tetap mereka tolak dengan alasan yang mereka kemukakan di atas, padahal mereka menyembunyikan alasan yang sebenarnya.

Sekalipun orang-orang Arab penduduk padang pasir berusaha menyembunyikan alasan mereka yang sebenarnya, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Oleh karena itu, Allah memberitahukan hal itu kepada Rasulullah. Alasan mereka yang sebenarnya adalah dugaan mereka bahwa Rasulullah saw dan kaum Muslimin akan kalah dan ditumpas habis oleh orang-orang musyrik Mekah. Jika mereka ikut bersama Rasulullah, tentu mereka akan kalah dan tertumpas habis pula. Alasan dan isi hati mereka itu disampaikan Allah kepada Rasulullah saw sebelum mereka menghadap beliau untuk memohon dimintakan ampunan kepada Allah atas penolakan mereka. Dengan demikian, Rasulullah telah mengetahui isi hati mereka yang sebenarnya pada saat mereka menghadap.

Allah kemudian mengajarkan kepada Rasulullah jawaban tepat yang akan disampaikan kepada mereka pada waktu mereka minta agar beliau memohonkan ampunan kepada Allah atas dosa mereka. Allah mengajarkan Nabi dengan memerintahkan beliau untuk mengatakan kepada orang-orang Arab penduduk padang pasir itu sebagai penolakan terhadap permintaan mereka, "Hai orang-orang Arab penduduk padang pasir, kamu menolak ajakanku pergi ke Mekah semata-mata karena kamu mau menghindari bencana dan malapetaka yang kamu duga akan menimpa dirimu. Siapakah di antara kamu yang sanggup melawan kekuasaan Allah jika Dia berkehendak menimpakan bencana dan malapetaka atas dirimu dan siapa pula yang menghindarkan sesuatu yang akan diberikan-Nya kepada seseorang, jika Dia menghendaki-Nya? Tidak seorang pun yang sanggup melakukannya. Oleh karena itu, tidaklah patut kamu mengemukakan alasan bahwa kamu sibuk mengurus urusan, harta, serta menjaga keluargamu sebagai alasan tidak ikut pergi bersamaku ke Mekah. Jika Allah hendak membinasakan semua yang kamu miliki itu, tidak seorang pun yang dapat mempertahankannya, walaupun yang menjaga itu adalah kamu sendiri."

Ayat ini juga merupakan peringatan kepada orang-orang yang selalu mengemukakan "kesibukan duniawi" sebagai alasan meninggalkan kewajiban agama yang telah dibebankan Allah kepada mereka dan untuk melanggar larangan Allah yang telah diperingatkan kepada mereka. Hendaklah kaum Muslimin benar-benar yakin bahwa kesibukan duniawi itu hanyalah untuk mencapai kesenangan dunia yang sifatnya sementara, sedang jihad fi sabilillah akan menghasilkan kebahagiaan hidup abadi di akhirat.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu yang dikerjakan oleh hamba-hamba-Nya, termasuk alasan-alasan palsu yang dikemukakan oleh seseorang untuk menghindarkan diri dari perintah Allah. Oleh karena itu, Dia akan memberikan balasan yang adil dan setimpal kepada setiap manusia terhadap segala dosa dan perbuatan yang telah dikerjakan.

Ayat ke 12

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang Arab padang pasir telah termakan oleh tipu daya setan. Anggapan bahwa Rasulullah saw dan para sahabatnya akan hancur, benar-benar telah ditanamkan setan dalam hatinya, sehingga telah menjadi pendapat dan keyakinan mereka. Oleh karena itu, mereka sangat takut pergi bersama Rasulullah ke Mekah. Padahal jika mereka memikirkannya secara mendalam, maka keengganan mereka itu sebenarnya akan menjadi sebab kebinasaan mereka di dunia, apalagi di akhirat. Tempat yang disediakan bagi mereka adalah neraka yang menyala-nyala.

Ayat ke 13

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa barang siapa yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan menyediakan baginya api neraka yang menyala-nyala sebagai balasan terhadap keingkaran mereka.

Ayat ke 14

Ancaman Allah akan mengazab orang-orang kafir bukan ancaman yang dibuat-buat dan sukar dilaksanakan, tetapi sesuatu yang benar-benar akan terjadi dan mudah pelaksanaannya bagi Allah karena hanya Dialah penguasa langit dan bumi beserta semua isinya. Hanya Dialah yang memiliki, mengatur, mengurus, menetapkan hukum-hukum yang berlaku baginya, dan menjaga kelangsungan wujudnya dengan hikmah-hikmah yang sempurna. Dia pulalah yang berhak mengampuni, menolong, dan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Allah yang Maha Pengampun dan Mahakekal rahmat-Nya.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa sekalipun orang-orang Arab penduduk padang pasir itu telah menolak dan mengingkari ajakan Rasulullah saw untuk pergi ke Mekah dan mengada-adakan alasan tentang sebab ketidakpergian mereka, namun Allah Maha Pengampun kepada hamba-hamba yang mau bertobat kepada-Nya dengan tobat yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, tergantung kepada mereka sendiri apakah mereka mau bertobat pada kesempatan yang telah diberikan Allah atau mereka akan tetap kafir. Dia akan melimpahkan rahmat yang tidak terhingga banyaknya kepada setiap orang yang ikhlas beribadah kepada-Nya.

Ayat ke 15

Orang-orang Arab Badui yang tidak ikut mengerjakan umrah ke Mekah bersama Rasulullah saw berkata kepada Nabi Muhammad saw pada waktu beliau akan pergi ke Khaibar, "Hai Muhammad, berilah kesempatan kepada kami untuk ikut bersamamu ke Khaibar." Kesediaan mereka untuk pergi ke Khaibar itu karena mereka yakin bahwa Perang Khaibar akan dimenangkan oleh kaum Muslimin, sehingga akan memperoleh harta rampasan yang banyak dalam peperangan itu.

Rasulullah saw bersama sahabat pergi ke medan Perang Khaibar pada bulan Muharram tahun ketujuh, sekembali beliau dari Perjanjian Hudaibiyyah. Dalam peperangan itu, kaum Muslimin mendapat kemenangan dan memperoleh harta rampasan yang banyak dari orang Yahudi.

Dalam satu hadis sahih, diterangkan bahwa Allah telah menjanjikan kepada para sahabat yang ikut bersama Rasulullah saw ke Hudaibiyyah bahwa mereka akan mendapat kemenangan di Perang Khaibar dan harta rampasan yang banyak. Janji ini secara tidak langsung menolak kesediaan orang-orang Arab Badui yang ingin ikut berperang bersama Rasulullah saw karena perang ini khusus diikuti oleh kaum Muslimin yang ikut ke Hudaibiyyah.

Karena maksud mereka yang tidak baik, maka Allah memerintahkan kepada Rasul untuk mengatakan kepada orang-orang yang bersedia ikut ke Khaibar, tetapi tidak ikut ke Hudaibiyyah, "Kamu tidak perlu ikut dengan kami ke Khaibar karena kamu telah mengenal kami. Kamu hanya mau ikut jika akan memperoleh keuntungan diri sendiri, sedangkan jika tidak ada keuntungan bahkan yang ada hanya kesengsaraan dan malapetaka, maka kamu tidak mau pergi bersama kami, bahkan mengemukakan alasan yang bermacam-macam. Demikianlah Allah telah membukakan rahasia hatimu kepada kami sebelum kami kembali dari Hudaibiyyah dan Allah telah menyatakan kepada kami bahwa rampasan Khaibar hanya akan diterima oleh orang-orang yang ikut ke Hudaibiyyah saja, itulah sebabnya kamu tidak boleh ikut bersama kami."

Orang-orang Arab Badui menjawab, "Wahai Muhammad, kamu mengadakan kebohongan terhadap kami. Sebenarnya Allah tidak mengatakan demikian. Kamu mengadakan kebohongan itu semata-mata karena rasa dengki yang timbul dalam hatimu terhadap kami." Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa orang-orang munafik Arab Badui yang mengatakan hal itu adalah orang yang tidak mengetahui agama Allah. Mereka juga tidak mengetahui tujuan perintah jihad. Allah memerintahkan jihad bukan karena Dia tidak mampu menghancurkan mereka, melainkan untuk membedakan siapa di antara mereka yang beriman dan siapa pula yang kafir.

Ayat ke 16

Ayat ini seakan-akan menguji isi hati dan kemauan orang-orang munafik Arab Badui, dengan memerintahkan Rasulullah agar mengatakan bahwa jika mereka benar-benar ingin bergabung dengan barisan kaum Muslimin, maka mereka akan diajak memerangi orang-orang yang mempunyai kekuatan yang besar. Mereka diharuskan untuk memerangi musuh itu kecuali kalau mereka menyerah dan memeluk agama Islam.

Kemudian kepada orang-orang Arab Badui itu dijanjikan bahwa jika mereka ikut berjihad, Allah akan melimpahkan nikmat-Nya kepada mereka, baik di dunia berupa kemenangan dan harta rampasan, maupun di akhirat berupa surga yang penuh kenikmatan. Sebaliknya jika mereka menyalahi perintah Allah, tidak mau berjihad, dan melaksanakan perintah itu, mereka akan menerima azab yang pedih di akhirat.

Dengan ayat ini, seakan-akan Allah memberikan kesempatan bertobat kepada mereka dengan menerima ajakan jihad itu. Akan tetapi, di wajah mereka tampak keingkaran dan ketakutan untuk menerima ajakan dan kesempatan bertobat itu.

Maksud "kaum yang mempunyai kekuatan" di sini ialah orang-orang kafir Mekah. Sedangkan menurut sebagian yang lain mengartikan suku Hawazin dan Bani hanifah di Nejed.

Ayat ke 17

Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa waktu ayat yang mengancam orang-orang yang tidak mau ikut berjihad bersama Rasulullah turun, maka orang-orang yang lumpuh berkata, "Bagaimana dengan kami ya Rasulullah?" Sebagai jawabannya turunlah ayat ini.

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa alasan-alasan yang dibolehkan bagi seseorang untuk tidak ikut berperang adalah karena buta, pincang, cacat jasmani, atau sakit. Muqatil berkata, "Nabi saw membenarkan alasan orang-orang yang sakit untuk tidak ikut bersama Rasulullah ke Hudaibiyyah dengan alasan ayat ini."

Kemudian Allah memberikan dorongan dan semangat kepada orang-orang beriman bahwa barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, serta memenuhi panggilan jihad di jalan-Nya, akan diberi balasan berupa surga yang penuh kenikmatan. Sebaliknya orang-orang yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya serta tidak mau ikut berjihad bersama kaum Muslimin yang lain, Allah akan mengazabnya dengan azab yang pedih.

Ayat ke 18

Allah menyampaikan kepada Rasulullah saw bahwa Dia telah meridai baiat yang telah dilakukan para sahabat kepada beliau pada waktu Bai'ah ar-Ridhwan. Para sahabat yang ikut baiat pada waktu itu lebih kurang 1.400 orang. Menurut riwayat, ada seorang yang ikut bersama Rasulullah saw, tetapi tidak ikut baiat, yaitu Jadd bin Qais al-Ansari. Dia adalah seorang munafik.

Para sahabat yang melakukan baiat itu telah berjanji akan menepati semua janji yang telah mereka ucapkan walaupun akan berakibat kematian diri mereka sendiri. Hal itu tersebut dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dari Salamah bin al-Akwa', bahwa ia berkata:

Aku telah melakukan baiat kepada Rasulullah saw kemudian aku berjalan menuju bayangan pohon (Samurah). Ketika orang-orang mulai sedikit, Nabi saw berkata, "Wahai Ibnu al-Akwa', tidakkah kamu ikut melakukan baiat." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku sudah melakukan baiat." Rasulullah berkata, "Yang ini juga." Maka aku melakukan baiat untuk kedua kalinya. Aku (Yazid bin Abu 'Ubaid, salah seorang sanad hadis ini) bertanya pada Salamah bin al-Akwa', "Wahai Abu Muslim (panggilan Salamah), untuk apa kalian melakukan baiat pada hari itu?" Ia menjawab, "Untuk mati." (Riwayat al-Bukhari dari Salamah bin al-Akwa')

Allah menjanjikan balasan berupa surga yang penuh kenikmatan kepada orang-orang yang ikut baiat itu. Hal ini ditegaskan pula dalam hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidhi dari Jabir r.a., Rasulullah saw bersabda:

Tidak seorang pun akan masuk neraka dari orang-orang yang ikut baiat di bawah pohon (Samurah) itu.

Menurut Nafi', ketika 'Umar bin al-Khaththab mendengar bahwa para sahabat sering berdatangan mengunjungi pohon itu untuk mengenang dan memperingati peristiwa Bai'ah ar-Ridhwan, maka beliau memerintahkan untuk menebang pohon itu. Umar memerintahkan agar pohon dan tempat itu tidak dikeramatkan dan dipuja oleh orang-orang yang datang kemudian sehingga menjadi tempat timbulnya syirik. Perbuatan Umar tersebut adalah sebagai saddu dhari'ah (menutupi celah atau kesempatan agar tidak terjadi syirik di kemudian hari).

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa Dia mengetahui isi hati dan kebulatan tekad kaum Muslimin yang melakukan baiat itu. Oleh karena itu, Allah menanamkan dalam hati mereka ketenangan, kesabaran, dan ketaatan kepada keputusan Rasulullah saw. Allah menjanjikan pula kepada mereka kemenangan pada Perang Khaibar yang terjadi dalam waktu yang dekat. Dengan demikian, ayat ini termasuk ayat yang menerangkan peristiwa yang terjadi pada masa yang akan datang, yaitu kemenangan kaum Muslimin pada Perang Khaibar. Dan peristiwa itu benar-benar terjadi.

Ayat ke 19

Ayat ini menerangkan bahwa pada Perang Khaibar yang akan terjadi, kaum Muslimin akan memperoleh kemenangan atas kaum kafir dan memperoleh harta rampasan yang banyak. Harta rampasan itu khusus diberikan kepada kaum Muslimin yang ikut Bai'ah ar-Ridhwan.

Pada akhir ayat ini, Allah mengulang ancaman-Nya kepada orang-orang munafik Arab Badui yang tidak mau ikut bersama Rasulullah saw ke Mekah. Allah akan memberlakukan sesuatu atas makhluk-Nya sesuai dengan hikmah dan faedahnya.

Ayat ke 20

Allah menjanjikan kemenangan dan harta rampasan yang banyak bagi kaum Muslimin dari orang-orang kafir secara berangsur-angsur pada masa yang akan datang. Allah akan segera memberikan kemenangan dan harta rampasan pada Perang Khaibar. Allah juga menjamin dan menghentikan orang-orang Yahudi yang ada di Medinah untuk mengganggu dan merusak harta kaum Muslimin sewaktu mereka pergi ke Mekah dan ke Khaibar. Peristiwa-peristiwa tersebut hendaklah mereka syukuri dan dijadikan sebagai bukti atas kebenaran Nabi Muhammad sebagai rasul yang diutus Allah kepada manusia. Allah membantu dan menolong kaum Muslimin dari ancaman dan serangan musuh-musuh, baik diketahui kedatangannya maupun yang tidak, dalam jumlah besar ataupun kecil. Allah membimbing kaum Muslimin menempuh jalan yang lurus dan diridai-Nya.

Menurut Ibnu Jarir, yang dimaksud dengan perkataan, "Allah menahan tangan manusia yang akan membinasakan Rasulullah dan kaum Muslimin" ialah keinginan dan usaha penduduk Khaibar dan kabilah-kabilah lain yang bersekutu dengan mereka, karena dalam hati mereka masih terdapat rasa dengki dan sakit hati. Kabilah yang bersekutu dengan penduduk Khaibar itu ialah kabilah Asad dan Gathafan.

Ayat ke 21

Di samping kemenangan dan jaminan keamanan, Allah juga menjanjikan bahwa kaum Muslimin akan menaklukkan negeri-negeri lain yang belum dapat ditaklukkan. Negeri-negeri itu telah dipastikan Allah akan dapat dikuasai oleh kaum Muslimin dan dijaga dari kemungkinan untuk ditaklukkan oleh orang lain. Kebenaran janji Allah itu terbukti di kemudian hari, dengan ditaklukkannya negeri-negeri di sekitar Jazirah Arab seperti Persia, dan sebagian kerajaan Romawi.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia mempunyai kekuasaan yang tidak dapat ditandingi oleh siapa pun, dan tidak ada sesuatu yang sukar bagi-Nya. Seakan-akan dengan ayat ini, Allah menyatakan bahwa memenangkan kaum Muslimin atas kaum kafir itu bukanlah suatu hal yang sukar bagi-Nya. Jika Dia menghendaki yang demikian, pasti terjadi.

Ayat ke 22

Dalam ayat ini, Allah memberikan kabar gembira kepada kaum Muslimin bahwa sekiranya orang-orang Quraisy menyerang kaum Muslimin di Hudaibiyyah, pasti Ia akan menolong mereka, dan menghancurkan pasukan musyrikin. Allah juga menyatakan bahwa kaum Muslimin akan dapat menaklukkan Mekah dalam waktu yang dekat. Hal itu tergambar dalam firman-Nya, "Hai kaum Muslimin, sekiranya orang-orang Mekah memerangimu dan tidak mau menerima Perjanjian Hudaibiyyah, pastilah Kami dapat mengalahkan mereka dan mereka akan mundur dan lari tunggang-langgang, karena tidak mempunyai pembantu dan pelindung yang akan membela mereka mempertahankan diri. Tetapi kamu, hai kaum Muslimin, mempunyai pembantu dan pelindung untuk memperoleh kemenangan."

Ayat ke 23

Ayat ini menegaskan bahwa memenangkan keimanan atas kekafiran dan menghapus yang batil dengan yang hak telah menjadi sunah (hukum) Allah yang berlaku bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya sejak dahulu sampai sekarang, dan untuk masa yang akan datang. Tidak ada satu pun dari makhluk yang ada di alam semesta ini yang dapat mengubah sunah-Nya itu.

Ayat ke 24

Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, 'Abd bin humaid, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa'i, dari Anas bin Malik, bahwa ia berkata, "Pada Perang Hudaibiyyah, 80 orang musyrik Mekah dengan bersenjata lengkap telah menyerbu perkemahan Rasulullah dan para sahabat dari bukit Tan'im. Berkat doa Rasulullah saw, serangan itu dapat dipatahkan dan semua penyerbu itu dapat ditawan. Kemudian Rasulullah saw membebaskan dan memaafkan mereka maka turunlah ayat ini."

Allah yang menahan dan menghambat serbuan orang-orang musyrik yang menyerbu perkemahan Rasulullah di Hudaibiyyah dan Allah pula yang menjanjikan kemenangan bagi Rasulullah saw dan kaum Muslimin. Kemudian Dia pula yang menimbulkan dalam hati Rasulullah saw rasa iba dan kasih sayang sehingga beliau membebaskan orang-orang kafir yang ditawan. Tidak seorang pun di antara mereka yang dibunuh, sekalipun kaum Muslimin telah berhasil memperoleh kemenangan.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dikerjakan oleh makhluk-Nya, tidak ada suatu apa pun yang tersembunyi bagi-Nya. Oleh karena itu, Dia akan memberi balasan segala amal perbuatan mereka dengan balasan yang setimpal dan adil.

Ayat ke 25

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang kafir menghalang-halangi kaum Muslimin mengerjakan umrah di Masjidilharam. Mereka juga menghalangi kaum Muslimin membawa dan menyembelih binatang kurban ke daerah sekitar Masjidilharam seperti di Mina dan sebagainya.

Sebagaimana telah diterangkan bahwa Rasulullah saw pada tahun keenam Hijrah berangkat ke Mekah bersama rombongan sahabat untuk melakukan ibadah umrah dan menyembelih kurban di daerah haram. Karena terikat dengan Perjanjian Hudaibiyyah, maka Rasulullah saw beserta sahabat tidak dapat melakukan maksudnya pada tahun itu. Rasul berusaha menepati Perjanjian Hudaibiyyah, namun ada serombongan kaum musyrik yang menyerbu perkemahan Rasulullah saw di Hudaibiyyah, tetapi serbuan itu dapat digagalkan oleh Allah. Sekalipun demikian, banyak di antara kaum Muslimin yang ingin membalas serbuan itu walaupun telah terikat dengan Perjanjian Hudaibiyyah. Allah melunakkan hati kaum Muslimin sehingga mereka menerima keputusan Rasulullah. Allah menerangkan bahwa Dia melunakkan hati kaum Muslimin sehingga tidak menyerbu Mekah dengan tujuan: pertama, untuk menyelamatkan kaum Muslimin di Mekah yang menyembunyikan keimanannya kepada orang-orang kafir. Mereka takut dibunuh atau dianiaya oleh orang-orang kafir seandainya mereka menyatakan keimanannya. Kaum Muslimin sendiri tidak dapat membedakan mereka dengan orang-orang kafir. Seandainya terjadi penyerbuan kota Mekah, niscaya orang-orang mukmin yang berada di Mekah akan terbunuh seperti terbunuhnya orang-orang kafir. Kalau terjadi demikian, tentu kaum Muslimin akan ditimpa keaiban dan kesukaran karena harus membayar kifarat. Orang-orang musyrik juga akan mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang Muslim telah membunuh orang-orang yang seagama dengan mereka."

Kedua, ada kesempatan bagi kaum Muslimin menyeru orang-orang musyrik untuk beriman. Dengan terjadinya Perjanjian Hudaibiyyah, kaum Muslimin telah dapat berhubungan langsung dengan orang-orang kafir. Dengan demikian, dapat terjadi pertukaran pikiran yang wajar antara mereka, tanpa mendapat tekanan dari pihak mana pun sehingga dapat diharapkan akan masuk Islam orang-orang tertentu yang diharapkan keislamannya atau diharapkan agar sikap mereka tidak lagi sekeras sikap sebelumnya. Diharapkan hal-hal itu terjadi sebelum kaum Muslimin melakukan umrah pada tahun yang akan datang.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah selalu menjaga dan melindungi orang-orang yang benar-benar beriman kepada-Nya, di mana pun orang itu berada. Bahkan Dia tidak akan menimpakan suatu bencana kepada orang-orang kafir, sekiranya ada orang yang beriman yang akan terkena bencana itu.

Ayat ke 26

Ayat ini mengingatkan kaum Muslimin akan timbulnya rasa angkuh dan sombong di hati orang-orang musyrik Mekah. Rasa itu timbul ketika mereka tidak setuju dituliskan "Bismillahir-Rahmanir-Rahimi" pada permulaan surat Perjanjian Hudaibiyyah.

Diriwayatkan, tatkala Rasulullah saw bermaksud memerangi orang-orang musyrik, mereka mengutus Suhail bin 'Amr, Khuwaithib bin 'Abd al-'Uzza, dan Mikras bin Hafadz kepada beliau. Mereka menyampaikan permintaan kepada beliau agar mengurungkan maksudnya dan mereka menyetujui jika maksud itu dilakukan pada tahun yang akan datang. Dengan demikian, ada kesempatan bagi mereka untuk mengosongkan kota Mekah pada waktu kaum muslimin mengerjakan umrah dan tidak akan mendapat gangguan dari siapa pun. Maka dibuat suatu perjanjian. Rasulullah saw memerintahkan 'Ali bin Abi thalib menulis "Bismillahir-Rahmanir-Rahimi". Mereka menjawab, "Kami tidak mengetahuinya." Rasulullah mengatakan bahwa perjanjian ini sebagai tanda perdamaian dari beliau kepada penduduk Mekah. Mereka berkata, "Kalau kami mengakui bahwa engkau rasul Allah, kami tidak menghalangi engkau dan tidak akan memerangi engkau, dan tuliskanlah perjanjian ini sebagai tanda perdamaian dari Muhammad bin Abdullah kepada penduduk Mekah." Maka Rasulullah saw berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Tulislah sesuai dengan keinginan mereka."

Karena sikap mereka, maka sebagian kaum Muslimin enggan menerima perjanjian itu, dan ingin menyerbu kota Mekah. Maka Allah menanamkan ketenangan dan sikap taat dan patuh pada diri para sahabat kepada keputusan Rasulullah saw.

Semua yang terjadi itu, baik di kalangan orang yang beriman maupun di kalangan orang kafir, diketahui Allah, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuannya. Oleh karena itu, Dia akan membalas setiap amal dan perbuatan hamba-Nya dengan seadil-adilnya.

Ayat ke 27

Allah menerangkan bahwa mimpi Rasulullah yang melihat dirinya dan para sahabatnya memasuki kota Mekah dengan aman dan tenteram serta beliau melihat pula di antara para sahabat ada yang menggunting dan mencukur rambutnya adalah mimpi yang benar dan pasti akan terjadi dalam waktu dekat.

Ayat ke 28

Dalam ayat ini ditegaskan kebenaran Muhammad saw sebagai rasul yang diutus Allah kepada manusia dengan menyatakan bahwa dia adalah rasul Allah yang diutus untuk membawa petunjuk dan agama Islam sebagai penyempurna terhadap agama-agama dan syariat yang telah dibawa oleh para rasul sebelumnya, menyatakan kesalahan dan kekeliruan akidah-akidah agama dan kepercayaan yang dianut manusia yang tidak berdasarkan agama, dan untuk menetapkan hukum-hukum yang berlaku bagi manusia sesuai dengan perkembangan zaman, perbedaan keadaan dan tempat. Hal ini juga berarti dengan datangnya agama Islam yang dibawa Muhammad saw, maka agama-agama yang lain tidak diakui lagi sebagai agama yang sah di sisi Allah.

Pada akhir ayat ini, dinyatakan bahwa semua yang dijanjikan Allah kepada Rasulullah saw dan kaum Muslimin itu pasti terjadi dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi terjadinya.

Ayat ke 29

Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad saw adalah rasul Allah yang diutus kepada seluruh umat. Para sahabat dan pengikut Rasul bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi lemah lembut terhadap sesama mereka. Firman Allah:

Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah. (al-Ma'idah/5: 54)

Rasulullah bersabda:

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih mengasihi dan sayang-menyayangi antara mereka seperti tubuh yang satu; bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa demam dan terganggu pula. (Riwayat Muslim dan Ahmad dari an-Nu'man bin Basyir)

Orang-orang yang beriman selalu mengerjakan salat dengan khusyuk, tunduk, dan ikhlas, mencari pahala, karunia, dan keridaan Allah. Tampak di wajah mereka bekas sujud. Maksudnya ialah air muka yang cemerlang, tidak ada gambaran kedengkian dan niat buruk kepada orang lain, penuh ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, bersikap dan berbudi pekerti yang halus sebagai gambaran keimanan mereka.

Mengenai cahaya muka orang yang beriman, 'Utsman berkata, "Adapun rahasia yang terpendam dalam hati seseorang; niscaya Allah menyatakannya pada raut mukanya dan lidahnya." Sifat-sifat yang demikian itu dilukiskan dalam Taurat dan Injil.

Para sahabat dan pengikut Nabi semula sedikit dan lemah, kemudian bertambah dan berkembang dalam waktu singkat seperti biji yang tumbuh, mengeluarkan batangnya, lalu batang bercabang dan beranting, kemudian menjadi besar dan berbuah sehingga menakjubkan orang yang menanamnya, karena kuat dan indahnya, sehingga menambah panas hati orang-orang kafir.

Kemudian kepada pengikut Rasulullah saw itu, baik yang dahulu maupun yang sekarang, Allah menjanjikan pengampunan dosa-dosa mereka, memberi mereka pahala yang banyak, dan menyediakan surga sebagai tempat yang abadi bagi mereka. Janji Allah yang demikian pasti ditepati.

Surat Al Fath terdiri atas 29 ayat, termasuk golongan surat-surat Madaniyyah, diturunkan sesudah surat Al Jum'ah. Dinamakan Al Fath (kemenangan) diambil dari perkataan Fat-han yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Sebagian besar dari ayat-ayat surat ini menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan kemenangan yang dicapai Nabi Muhammad s.a.w. dalam peperangan-peperangannya. Nabi Muhammad s.a.w. sangat gembira dengan turunnya ayat pertama surat ini. Kegembiraan ini dinyatakan dalam sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari; Sesungguhnya telah diturunkan kepadaku satu surat, yang surat itu benar-benar lebih aku cintai dari seluruh apa yang disinari matahari. Kegembiraan Nabi Muhammad s.a.w. itu ialah karena ayat-ayatnya menerangkan tentang kemenangan yang akan diperoleh Muhammad s.a.w. dalam perjuangannya dan tentang kesempurnaan nikmat Allah kepadanya. Baca Surat

Abdullah Al Juhany

Abdul Muhsin Al Qasim

Abdurrahman as Sudais

Ibrahim Al Dossar

Misyari Rasyid Al Afasi